Neil Halstead Ngeshare Mental State Anggota Slowdive Dalam Pembuatan Album Baru dan Potensi Tour Indonesia.
Jarak tujuh tahun dalam perilisan album, bukan berarti jelek.
Band asal UK, Slowdive jadi salah satu nama legendaris buat musik shoegaze berkat sound mereka yang ethereal, melankolis namun tetap manis. Sempat bubar di pertengahan 1990an, secara mengejutkan mereka ngerilis album comeback berjudul Slowdive lebih dari dua dekade kemudian yang bisa dibilang sukses diterima oleh fans lama maupun generasi baru.
Beberapa minggu lalu, mereka baru aja ngerilis album post-reunion kedua, Everything is Alive. Lewat sound yang lebih ‘dingin’ dan didominasi oleh synthesizer, persembahan terbaru Slowdive ini mencerminkan life events yang dialami para anggota band dalam beberapa tahun terakhir yang kebanyakan udah berumur 50an dan berkeluarga.
Biarpun overall musik mereka sekarang nggak berbeda jauh dengan yang dulu, dunia udah banyak berubah. Slowdive kini berkarya di era digital dan fans dari belahan bumi manapun punya akses yang sama terhadap musik mereka. Sama seperti banyak genre lain, shoegaze udah menjadi bagian dari musik global, dan bukan lagi cuman regional.
Penasaran soal makna di belakang Everything is Alive dan pendapat Slowdive tentang generasi muda penikmat shoegaze, Hypebeast Indonesia pun ngajak ngobrol Neil Halstead, vokalis, gitaris, producer dan penulis lagu utama di band.
Hai Neil! Kenapa Everything is Alive baru dirilis 7 tahun setelah album terakhir?
Emm, saya nggak tahu juga sih (ambil nafas sejenak), kami emang nggak pernah kerja dengan jadwal khusus. Pas tahun 2019, kami udah banyak tur dan pengen ambil istirahat dulu. Kami mau mulai nulis album baru tapi kemudian pandemi mulai datang. Akhirnya kami mulai ngerjain album baru nggak lama setelah itu tapi emang butuh beberapa tahun buat nyelesain karena kami sendiri bukan band prolifik (ketawa). Jadi jarak 7 tahun antar album sebetulnya nggak jelek-jelek banget lah.
Dulu 3 album pertama kalian dirilis dalam waktu 6 tahun aja, apakah sekarang prosesnya lebih lama karena udah pada berkeluarga?
Band ini sekarang emang bukan project full-time sih. Dulu saat kami masih bocah, kami tinggal bareng, tour sana sini, rilis 3 album, 5 EP dalam 6 tahun. Sekarang, semua orang punya kesibukan sendiri-sendiri, punya project musik masing-masing. Cara kerja kami dalam menulis musik udah nggak sama, jadinya begitu deh.
Banyak materi di album baru ini datang dari materi proyek elektronik solo saya yang udah saya kerjakan sejak 2012. Jadi memang kami nulis album dengan cara berbeda sekarang, dan nggak ada jadwal tetapnya. Kami nggak mencoba rilis album setiap tahun.
“Tapi iya kami pengen banget datang ke Indonesia, dan main di sana. Semoga kami akan dapet kesempatan buat ke sana”
Album baru terasa lebih kontemplatif, emangnya kalian lagi di fase hidup apa ketika bikin album ini dan apa inspirasinya?
Banyak lagu di sini saya tulis sebagai proyek musik techno solo awalnya, dari 2012 hingga 2019, jadi ada banyak fase hidup yang berbeda di dalamnya. Lagu “Prayer Remembered,” saya tulis beberapa hari setelah anak lelaki keempat saya lahir, misalnya. Lalu kami semua di band melalui banyak hal, termasuk pandemi. Rachel kehilangan ibunya, Simon kehilangan ayahnya, jadi ada banyak kejadian ketika kita sedang nulis album ini, ada banyak emosi berbeda. Jadi ya, beberapa lagu mungkin bisa dibilang kontemplatif…dan fondasi album ini sebetulnya tentang perayaan hidup dan merefleksikan hidup itu sendiri.
Tadi kalian bilang Everything is Alive berawal dari materi musik techno?
Iya saya emang doyan kerja dan rajin bikin musik di studio saya. Ketika kami mau mulai bikin album baru, saya nggak pengen duduk dan menulis lagu secara spesifik buat Slowdive. Jadi, saya kirimin aja anggota band yang lain 40 lagu yang udah saya buat dalam rentang 8 tahun. Nggak ada arahan khusus mau dipake buat apa materinya, cuman saya tulis aja. Tadinya saya pikir saya mau rilis album elektronik aja sendiri, dan jujur saya masih pengen sampe sekarang, tapi kemudian teman-teman Slowdive memilih beberapa lagu yang pengen coba dikerjakan dan begitulah gimana albumnya mulai terbentuk.
“Sekarang, semuanya kesibukan dan project musik masing-masing. Cara kerja kami dalam menulis musik udah nggak sama, jadinya begitu deh.”
Apakah proses nulis musik Slowdive emang biasanya seperti ini? Ada bedanya nggak sih bikin album dulu dengan sekarang?
Biasanya, saya bikin demo terus saya kirim ke band, dan kami mulai dari situ aja. Kami selalu bikin musik seperti ini. Album Pygmalion (1995) agak beda sendiri, hampir satu album saya buat sendiri di kamar sebelum kami tambah sedikit ini itu, tapi biasanya demonya dari saya, dan kadang demonya jadi album, atau kami rekam ulang.
Gak beda banget sih prosesnya Paling sekarang semua digital, kami dulu rekaman pake pita. Dulu kalau mau edit bagian, harus literally potong pita dan sekarang kan udah nggak perlu. Dan sekarang kami bisa bikin musik secara remote. Saya bisa kirim musik ke yang lain, dan mereka bisa kerjakan di rumah kalau dibutuhkan, tapi ya secara esensi tetap bikin musik bareng di sebuah ruangan, bagian itu belum berubah.
“Dan buat saya memulai proses penulisan album ini dari sketch elektronik, jadi cara yang berbeda dan semoga hasilnya beda juga.”
Gimana kalian nyari titik seimbang antara demo yang nuansanya techno dengan sound rocknya Slowdive?
Butuh waktu aja sih. Lagunya harus dibawa ke titik di mana semua orang puas dengan hasilnya, tapi kadang itu nggak terjadi, dan lagunya ya nggak dipake aja gitu. Sebagai band, kami semua harus senang dengan hasilnya dan semua orang pasti nggak persis sama seleranya kan? Proses ini memang ngabisin banyak waktu kadang, harus ngerjain ulang lagu atau producing lagu dengan cara yang beda sampe semua orang puas.
Kalian udah lama jadi band. Pas nulis materi album ini pernah nggak takut ngulang diri sendiri secara musikal? Itu gimana ngadepinya?
Pasti. Penting bahwa kami selalu nyoba nyiptain sesuatu yang berbeda, agar kami sendiri nggak bosen. Niatnya sih begitu, dan kadang kami berhasil, kadang enggak. Menurut saya emang ada ‘sound Slowdive’ yang nggak bisa kami hindari sepenuhnya. Kalau saya nulis album sendiri, hasilnya mungkin akan jauh berbeda, kalau Nick yang buat sendiri, hasilnya bakal beda lagi. Jadi kami biasanya ngincer sebuah titik di mana semua orang puas. Dan buat saya memulai proses penulisan album ini dari sketch elektronik kan jadi cara yang berbeda dan semoga hasilnya beda juga. Prosesnya selalu organik dan kami mengikuti musiknya.
“Butuh beberapa tahun buat nyelesain album baru karena kami sendiri bukan band prolifik, jadi jarak 7 tahun antar album sebetulnya nggak jelek-jelek banget lah.”
Musik shoegaze/dream pop kental nuansa nostalgia, tapi musik kalian sekarang menarik telinga banyak generasi baru dari seluruh dunia. Apakah ini mengagetkan kalian? Dan apa opini kalian tentang musik bersifat global dan nggak regional seperti dulu. Apakah ini hal yang baik?
Menurut saya itu keren. Internet bikin kita semua terhubung. Dan kami jadi menyadari bahwa kehidupan semua orang nggak beda-beda amat, bahwa orang punya emosi yang sama. Ketika kami reuni tahun 2014, menarik sekali melihat bahwa ada banyak pendengar kami di sisi dunia yang berbeda, yang bisa relate dengan musik yang kami buat. Mungkin karena waktu muda dulu kami nggak terlalu sering tur, dan album-album kami mungkin dulu nggak tersedia di banyak negara ya? Jadi, lagi-lagi semua gara-gara internet dan orang kini bisa nemu musik dari mana pun buat didengerin. Itu keren sih menurut saya.
Kalian sempat manggung di Singapura beberapa tahun lalu, kenapa belum pernah ke Indonesia? Ada rencana main nggak tahun depan?
Kami sebetulnya pernah dapat tawaran buat main festival di Bali tapi waktu itu sponsornya perusahaan rokok, dan kami nggak nyaman dengan itu jadi kami nggak ambil. Tapi iya kami pengen banget datang ke Indonesia, dan main di sana. Semoga kami akan dapat kesempatan untuk ke sana dan pastinya kami pengen.